"Meluruskan Sejarah Majapahit" adalah sebuah buku tulisan Irawan Djoko Nugroho,
infonya dapat di lihat di sini :
http://www.facebook.com/topic.php?uid=78845515468&topic=12527
(facebook) dan di sini : http://catalogue.nla.gov.au/Record/4767070
(katalog buku). Sang penulis mengaku alumnus Universitas Gajah Mada,
Jogyakarta jurusan/fakultas Filologi.
Beberapa hal yang tertulis di dalam buku karangan beliau (Meluruskan Sejarah Majapahit) adalah tidak benar alias salah kaprah. Alih-alih 'meluruskan sejarah Majapahit' tetapi pada faktanya malah "Membelokkan Sejarah Majapahit". Artikel atau tulisan ini akan membahas pembelokan-pembelokan tersebut secara bersambung atau berkelanjutan.
Pembelokan pertama disebutkan bahwa Gajah Mada (sebagai
mahapatih Majapahit) ternyata ada dua orang, yang pertama hidup pada
masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi/Hayam Wuruk dan yang kedua hidup
pada masa pemerintahan Brawijaya V. Selanjutnya dikatakan bahwa Gajah
Mada yang berhasil mempersatukan Nusantara adalah Gajah Mada yang ke-2,
yang hidup pada masa pemerintahan Brawijaya V.
Landasan atau dasar yang dipergunakan memperkuan alibi atau pernyataannya adalah :
- Babad Tanah Jawi
- Babad Demak I
- Hikayat Hang Tuah
- Hikayat Raja-raja Pasai
- Prasasti Wijaya Parakrama-Wardhana tahun 1447 M.
Berita-berita tradisi yang berupa babad atau hikayat pada dasarnya
merupakan sumber sejarah yang lemah kedudukannya dalam artian tidak
dapat dipergunakan sebagai acuan dasar untuk menuliskan sejarah suatu
bangsa, apalagi untuk menuliskan sejarah berdirinya atau kelangsungan
hidup suatu kerajaan dalam hal ini kerajaan Majapahit. Banyak uraian
babad-babad atau hikayat yang bertentangan dengan isi suatu prasasti
(yang merupakan sumber otentik).
Baiklah kita tinjau uraian Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto dalam bukunya Sejarah Nasional Indonesia II, terbitan Balai
Pustaka tahun 1993, pada halaman 448 disebutkan hal yang demikian :
"Berita tradisi menyebutkan bahwa kerajaan Majapahit runtuh
pada tahun Saka 1400 (1478 M). Saat keruntuhan itu disimpulkan dalam
candrasengkala sirna-ilang-kertining-bumi (Serat kanda dan Babad ing sengkala
-penulis-) dan disebutkan pula bahwa keruntuhannya itu disebabkan
karena serangan dari kerajaan Islam Demak. Berdasarkan bukti-bukti
sejarah yang sampai kepada kita (penulis buku -penulis-) ternyata bahwa
pada saat itu kerajaan Majapahit belum runtuh dan masih berdiri untuk
beberapa waktu yang cukup lama lagi. Prasasti-prasasti batu yang berasal dari tahun 1486 M masih menyebut adanya kekuasaan
kerajaan Majapahit. Rajanya yang berkuasa pada waktu itu bernama Dyah
Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana, bahkan ia disebutkan pula
sebagai seorang Sri Paduka Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri
Prabhunatha"
Dari uraian tersebut di atas dapatlah kita tarik suatu kesimpulan bahwa
sebenarnya berita-berita tradisi (dalam bentuk babad ataupun hikayat)
adalah sangat-sangat lemah kedudukannya bilamana akan dipergunakan
sebagai sumber untuk menuliskan suatu sejarah. Sumber utama yang
terpenting adalah prasasti-prasasti, baru kemudian catatan perjalanan
saksi-saksi sejarah. Selanjutnya berita-berita tradisi hanya bersifat
pelengkap.
Dengan demikian sumber-sumber tulisan Irawan Djoko Nugroho (Meluruskan Sejarah Majapahit) yang berbentuk babad dan atau hikayat (Babad Tanah Jawi, Babad Demak I, Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Raja-Raja Pasai) sangat-sangat lemah kedudukannya, dalam artian tidak dapat dipergunakan sebagai sumber untuk menuliskan sejarah.
Selanjutnya, bila kita tinjau prasasti Wijaya-Parakrama-Wardhana tahun 1447 M, tidak pernah disebutkan nama Gajah Mada sebagai patih Brawijaya V, yang ada nama adalah Gajah Geger. Nama 'Gajah Geger' ini oleh penulis buku (Irawan Djoko Nugroho) diasumsikan sebagai Gajah Mada berdasarkan pendefinisian kata Geger yang berarti 'hiruk-pikuk'. Demikian juga definisi kata Mada yang berarti 'hiruk-pikuk'. Berdasarkan kesamaan arti kata Geger dan Mada inilah kemudian dia/beliau kemudian menyamakan Gajah Geger dengan Gajah Mada. Hal ini adalah merupakan suatu kesalahan besar sekali lagi saya katakan, SALAH BESAR.
Kata Mada dalam nama Gajah Mada pada dasarnya adalah melukiskan sebuah tempat kelahiran yang bersangkutan, artinya Gajah Mada adalah orang besar yang berasal dari desa Mada. Jadi bukan 'orang besar hiruk pikuk', demikian pula kiranya nama Gajah Geger hendaknya dianalogikan sebagai orang besar yang berasal dari daerah Geger.
Kesimpulannya : Kata geger dalam nama Gajah Geger, tidak dapat diartikan sebagai Gajah Mada,
sehingga memunculkan asumsi bahwa Gajah Mada ada dua orang. Ini
merupakan kesimpulan yang tergesa-gesa dan sangat terkesan mengada-ada
yang dalam bahasa Jawanya, utak-atik-gathuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar